“Belis”  di Manggarai, Bentuk Penghargaan pada Kaum Perempuan.

0
1005
Sandrianus muda

 Portalmalang.com-  Salah satu istilah didalam sejarah masyarkat manggarai yaitu, “BELIS ”  masyrakat Manggarai memaknai belis sebagai salah satu bentuk penghormatan dari keluarga laki laki kepada keluarga perempuan. Dalam tradisi masyarakat Manggarai untuk membangun suatu keluarga perlu melewati jalur yang panjang. Salah satu ciri khas dari proses ini adalah  adanya mas kawin, atau dengan sebutan orang Manggarai yaitu, “pasa”. Berbicara tentang belis merupakan tidak lepas jauh dari budaya masyarakat Manggarai, budaya belis ini sudah sejak lama hidup dalam masyarakat Manggarai terutama diprovinsi nusa tenggara timur tepatnya diflores Manggarai.

Besarnya jumlah nominal dan jumlah hewan yang akan belis seorang perempuan muda dimanggari, tergantung pada kesepakatan antara keluarga mempelai perempuan (anak rona) dan keluarga mempelai laki-laki (anak wina). kedua keluarga ini akan berkumpul disebuah rumah adat Manggarai dengan istilah “Mbaru gendang” untuk menyepakati beberapa jumlah belis yang harus disiapkan oleh keluarga laki laki. Biasanya kedua keluarga ini akan mempercayai salah satu tokoh masyarakat yang dipandang memiliki kemampuan berbicara yang baik, untuk menjadi juru bicara (Tongka). 

dalam proses pengambilan keputusan jumlah belis membutuhkan waktu yang cukup lama .bahkan kadang tidak menemukan titik temunya, itu dikarenakan permintaan belis dari keluarga perempuan tidak disetujui oleh keluarga laki laki. ketika tongka dari pihak anak rona, meminta jumlah uang yang cukup besar melampaui yang disiapkan oleh anak wina, tongka dari pihak anak wina harus mengadakan tawar menawar.biasaya mereka menggunakan dialek Manggarai atau sebuta6 dalam budaya Manggarai Go’et  misalnya “mangkeng sake”, “halang wae”, “wae teku Tedeng”,  arti dari bunyi “Go’et” mangkeng sake, halang wae, “diartikan dengan” menggalih tanah. Salang wae berarti jalannya air, sendangkan wae teku tedeng berarti “air yang ditimbah”. Tujuannya agar hubungan yang baru terjalin antara anak rona dan anak wina, tetap harmonis seperti air yang mengalir tidak kenal musim.

Namun di era modern sekarang ini, budaya ini mengalami pergeseran. Makna budaya belis yang dulunya sebagai bentuk penghargaan kepada pihak perempuan kini menjadi momok tersendiri bagi generasi muda Manggarai yang hendak menikah. Modal cinta, rasa kasih sayang, suka sama suka tidaklah cukup untuk membawa hubungan ke plaminan, akan tetapi untuk melengkapi itu semua adalah persiapan material yang kemudian dimaknai dengan kata belis. Atau singkatnya model itu tidak cukup tetapi harus dibarengi dengan modal.

Ketika budaya belis di susupi oleh faktor ekonomi, maka tujuan luhur dari belis itu tergantikan oleh kalkulasi dagang (hitung-hitungan untung rugi) yang dilakukan oleh pihak anak rona sehingga belis pun mengalami peningkatan dan tak jarang belis menjadi ajang jual beli anak perempuan. Hal ini di buktikan dengan upaya tawar menawar harga belis dan tak jarang hubungan kedua calon mempelai harus kandas di tengah jalan karena pihak anak wina tidak sanggup membayar tuntutan belis yang di tetapkan oleh pihak anak rona.

       Saat ini nilai belis di manggarai ditentukan oleh faktor pendidikan dan status sosial, semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, maka nilai belis yang di tetapkan pun akan smakin  besar. Budaya belis ini sudah sejak lama hidup dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Tidak ada referensi tertulis yang menunjukkan kapan budaya belis ini muncul. Melihat fakta yang terjadi sekarang ini harus diakui bahwasanya budaya belis di manggarai telah mengalami pergeseran makna dan itu sangat nyata sekali.

Pemberian Belis ini juga mempunyai makna yang mendalam bagi masyarakat Manggarai. Dimana Belis ini mempunyai arti yaitu untuk membalas Air Susu Ibu atau sebagai penghargaan terhadap kaum perempuan. Makna Belis bagi Perkawinan Adat Manggarai itu sebagai ungkapan terimakasih karena orangtua sudah bersusa paya mengurus, mengasuh dan membesarkan, menyekolahkan anaknya dari kecil hingga dewasa bahkan sampai memperoleh pekerjaan yang layak bagi anaknya.

         Tujuan dan fungsi belis adalah sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan martabat seorang perempuan sehingga mempunyai peranan penting sebagai cerminan penghargaan terhadap seorang perempuan, untuk melindungi harga diri kaum perempuan dan sebagai pencegah terjadinya suatu pelanggaran terhadap norma kesusilaan.

Di balik itu semua, kita bisa menilai bahwa belis dalam kebudayaan Manggarai tidak menuntut untuk dibayar lunas. Karena yang paling diutamakan adalah kesinambungn hubungan antara kedua keluarga besar  anak rona maupun anak wina. Lebih dari itu, kebahagiaan kedua pengantinlah yang paling utama.

Rangkaian acara dalam acara belis sudah tersusun secara turun temurun mulai dari acara reis dibarengi kopi dan snack, baru acara toi loce (mbaru ndei) yaitu rumah khusus yang disiapkan untuk anak wina untuk beristirahat sambil menunggu pihak anak rona menyiapkan makan malam, dan setelah makan malam baru masuk acara inti (serah terima uang belis) dan berakhir acara pamitan

Pilihan bahasa/perumpamaan yang digunakan oleh tongka (juru bicara) dalam acara serah terima belis juga menjadi salah satu keunikan khusus yang dimiliki seseorang (tongka), baik dari pihak anak rona maupun tongka dari anak wina. Sebelum acara serah terima belis, kedua keluarga yang bersangkutan sudah memberi gambaran jauh sebelumnya jumlah belis (uang dan barang) yang harus di siapkan saat acara di langsungkan. Sehingga pihak anak wina bisa menyiapkan sebaik mungkin, tetapi angka yang ditentukan bisa saja berubah tergantung cara Tongka (jubir pihak anak rona) memberikan berbagai ungkapan yang mengarah pada tegi (meminta) kepada anak wina, misalnya:

“Ai nggtu y kesa/ema/anak..aku emas d y toe danga ita meu laku, denge kaut taka rewengs meu laku bao mais, neho dakun wali ga caro kauts lemeu pisad ata mangad kut di’a wali laku kamping ase ka’e sot lonto leok noo”. Ungkapan diatas bermaksud agar tongka dari pihak anak wina menyebutkan jumlah uang yang disiapkan oleh mereka, hal ini supaya menghindari desas-desus yang tidak seharusnya terjadi setelah acara berlangsung yang dimaksud dimana keluarga yang hadir tidak salah menilai bahwa mungkin tongka dari pihak anak rona menyembunyikan sepeser puang belis. selanjutnya, masih banyak yang harus di bayar oleh pihak anak wina, mulai dari persiapan(mungkin banyak barang yang digunakan dalam acara tersebut ataa dasar pinjam), kemudian Seng koso nomber (uang untuk ucapan terimakasih kepada pihak yang membantu melancarkan acara) mulai dari pemasak di dapur,yang mempersiapkan tempat duduk, soundsystem, peralatan makan/minum dan sebagainya. Sehingga, keuletan sang tongka dari pihak anak rona dalam memberikan perumpamaan supaya pihak anak wina mengerti sangat dibutuhkan disini, sehingga di awal tadi dijelaskan bahwa angka yang disepakati sebelumnya bukanlah keseluruhan dari proses pembayaran belis.

 setelah semuanya beses,barulah ditentukan tanggal acara pernikahan selanjutnya acara pamitan. Secara adat/Kebiasaan, setelah keluarga anak wina berpamitan langsung pulang (kalau memanga jarak tidak jauh langsung pulang kalau tidak berarti keesokan paginya baru acara pamitan).Tetapi seiringnya waktu, sekarang sebelum pulang, masih ada yang ingin melakukan foto-foto sebagai dokumentasi.

*)Penulis Sandrianus Muda, Mahasiswa Universitas Katolik Indonesia
*)Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi portalmalang.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here