Portalmalang.com- Suatu siang dalam sebuah pertemuan kelas terbatas, yang diikuti oleh kira-kira enam belas orang, jumlah itu termasuk dosen. Kelas berjalan seperti kelas-kelas pada umumnya, yaitu kelas dimulai dengan pemaparan materi oleh dosen dan diakhiri dengan diskusi. Pembahasan kelas siang itu membicarakan tentang Jurnalisme Warga atau yang lebih dikenal dengan istilah Inggrisnya, Citizen Journalism. Menjawab pertanyaan dari seseorang teman, dosen iseng bertanya kepada kami tentang kejadian 911 pada WTC, ketika menyingung kejadian naas itu. Apa kepanjangan dari WTC, demikian pertanyaannya. Saya yang sedikit mengingat lalu mencoba menjawab, tapi tidak tepat, seseorang teman yang duduk di bagian depan dengan yakin menjawab, “World Trade Center, Pak,” dosen yang melihat teman itu melakukan browseing, lalu berkata “Lihat di om Google ya.”
Kejadian seperti yang saya alami dan ceritakan barusan, adalah keseharian kita sebagai mahasiswa yang hidup ditengah kencangihan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini. Kita begitu dimanja oleh teknologi itu, sampai-sampai berpikir untuk menjawab pertanyaan sepontan saja kita dibantu oleh teknologi itu. Saya sebut itu adalah fakta keseharian kita, karena, misalnya saja ketika kita diberi tugas oleh dosen kita untuk mengerjakan makalah atau pun tugas-tugas lainnya, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan pada google form, maka dengan cepat kita akan mencari jawaban atau referensinya dengan browseing di mesin pencari google. Ketika diskusi dan mengalami kebuntuan karena ada peserta diskusi yang ngeyel, maka kita akan dengan cepat pula mencari jawabannya di google dan menunjukannya kepada teman yang ngeyel itu. Dan ketika menjalankan aktivitas kita sehari-hari, ketika kita bertanya atau pun ditanya, biasanya jawaban yang meuncul “Udah, tanya sajalah sama embah Google.”
Itulah keseharian kita, mahasiswa milenial, mahasiswa yang akan menyambut satu abad berdirinya Indonesia, mahasiswa yang dengan yakin karena adanya modus demografi, akan membawa Indonesia keambang kemajuan. Ya, itulah kita, mahasiswa yang karena dimanjakan oleh teknologi komunikasi itu, telah dengan tidak sadar mengubah diktum Rene’ Descartes, cogito ergo sum yang dalam bahasa Inggris I think therefore I’m yang dalam bahasa kita, “Saya berfikir maka saya ada,” yang mencerminkan semangat yang membawa bangsa Eropa menjadi bangsa yang besar karena kesadaran pikirannya, diktum itu telah berubah menjadi, I browse therefore I’m. Kita telah merubahnya, dan itulah ciri generasi kita.
Laku hidup yang seperti itu, yang memberikan tugas otak untuk berpikir kapada mesin mekanis yang manipulatif itu, adalah tindakan yang sebenarnya membahayakan diri dan mental kita. Kenapa demikian. Ya, karena ketika terbiasa denga “I browse,” maka “I think” akan menjadi lemah dan tengelam, dan itu akan melahirkan kecanduan dan ketergantungan pada mesin-mesin itu, dan pada akhirnya hilanglah kondisi ideal bahwa seharusnya mesinlah yang dikendalikan oleh manusia bukan sebaliknya, manusia dikendalikan oleh mesin. Mungkin kondisi ini akan menjadi sedikit tidak relevan ketika terjadi bukan pada mahasiswa, misalnya kepada masyarakat awam. Jika demikian, maka kita dapat berkata, hal itu adalah hal yang wajar. Wajar bahwa masyarakat awam melakukan browseing, karena keseharian mereka tidak mengharuskan mereka untuk berpikir ketat sebagaimana kita mahasiswa.
Tapi sayangnya justru itu malah banyakn dilakukan oleh mahasiswa. Menurut beberapa riset, menyebutkan bahawa jumlah pengguna internet malah justru dikuasai oleh kalangan pelajar dan mahasiswa, hal ini menjadi sesuatu kenyataan yang cukup miris, karena menunjukan kalangan terpelajar yang harusnya belajar dengan disiplin untuk menggunakan otaknya untuk berpikir, malah memberikan tugas itu kepada mesin pencarian untuk melakukan tugas itu. Dengan melakukan itu, kaum terpelajar negara ini telah menjadi generasi yang malas untuk berpikir, tidak menyukai sesuatu yang reflektif melainkan refleks, generasi muda terpelajar angkatan kita, telah menjadi generasi yang telah benar-benar generasi yang instan dan mekanis. Dengan kebiasaan seperti itu, generasi terpelajar angkatan kita ini telah menyerahkan nasibnya kepada mesin-mesin pencarian cangih itu, dengan begitu nasib negara ini pun bisa saja bergantung pula pada mesin tersebut.
Kemalasan berpikir karena ketergantungan pada mesin pencarian cangih itu, sama saja dengan men-shut down otak lalu kemudian menghidupkan mesin itu. Ya, dengan rutin menggunakan mesin itu, maka algoritma pada mesin itu akan menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang masuk ketika kita browseing dan akan mengembangkan diri, sedangkan otak kita akan lumpuh perlahan-lahan beriringan dengan semakin tergantungnya kita kepada alat tersebut.
Ada cara untuk membuat kita tetap berpikir di tengah kemajuan teknologi yang memalaskan ini, yaitu dengan membaca buku. Dengan membaca buku, pemahaman kita akan sesuatu lebih untuh dan lengkap, dari pada ketika membaca artikel di internet, contohnya tulisan ini, pemahaman kita akan sesuatu menjadi parsial, karena artikel-artikel yang ada pada internet itu tidak sistematis seperti halnya pada buku. Dan lebih lagi, karena pada buku tidak akan ada teknologi copy-paste, maka jika menjadikan buku sebagai rujukan, akan membuat kita mau-tidak mau harus membacanya ketika hendak menuliskan ulang, bukan langsung copy-paste.
Tapi itu pun rupanya sayang seribu sayang. Berdasarkan beberapa data hasil riset tentang tingkat literasi kita, didapati ternyata angka tingkat literasi kita ternyata sangat rendah. Rendahnya tingkat literasi kita itu dapat kita sinyalir dengan dua kemungkinan, yaitu yang pertama, karena memang kitanya saja yang malas membaca dan kemungkinan kedua adalah karena tidak meratanya persebaran buku keseluruh wilaya. Satu dari kemungkinan ini bisa saja benar atau sala, tapi rasa-rasanya kedua-duanya sama-sama benar. Ditengah kemalasan kita dalama membaca buku dan tidak meratanya persebaran buku-buku kewilayah-wilayah, muncul dengan pasti dan pesat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang memudahkan kita untuk dapat mengakses berbagai hal dengan segala keinstanannya, dan dengan ketidak siapan dan kedewasaan kita dalam menggunakannya.
Dalam menggunakan internet, dan akses kepada Google yang serba instan itu, mungkin kita seperti seseorang anak kecil yang sedang menggandrugi sebuah permainan baru yang baru saja dibelikan, dan karenanya kita tidak mau melepaskan mainan itu sama sekali kemana pun kita pergi, apa pun yang kita kerjakan dan lakukan, kita selalu ingin bersama-sama dengan mainan itu. Semoga kita segera bosan dengan mainan itu sebelum mainan itu ganti mempermainkan kita. Jaman kita jaman yang mudah, kita terlalu dimanjakan oleh jaman kita ini.
Jaman yang mudah itu, rupanya mengkerdilkan mentalitas kita sebagai orang-orang terpelajar. Entah belum terlambat atau sudah terlambat, masih sempat atau sudah tidak sempat lagi, kita, generasi terdidik angkatan ini, harus bangkit dari bahaya penina bobokan ini, mari kita gunakan lagi alat sebagaimana kedudukannya sebagai alat, dan dengan demikian kita mengembalikan diri kita sebagaimana adanya sebagai manusia. Dengan demikian, I browse akan semakin tengelam dan kembali seperti alat, dan I think akan kembali, untuk mengingatkan bahawa kita ini adalah manusia, dan karenanya pikiran kita mestinya lebi kaya dari pada alat-alat itu.
Terakhir, saya ingin menawarkan dua solusi umum dan parktis untuk dilakukan sebagai “aku yang berpikir,” yaitu yang pertama, ketika di dalam kelas dan sedang melakukan diskusi dengan dosen dan teman-teman kelas, usahakan matikan atau tinggalkan saja hp kita dalam tas, agar kita bisa lebih fokus mendengarkan setiap percakapan dalam diskusi itu, ini membantu kita untuk mulai kembali untuk berpikir, syukur-syukur kalau kita ikut terlibat di dalam diskusi itu. Kedua, ketika muncul pertanyaan, entah itu di dalam kelas, entah itu ketika sedang berdiskusi dengan teman dan entah itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan sehari-hari kita, dari teman kita, usahakanlah kita menjawab dengan menggunakan aku yang fersi I think bukan aku yang fersi I browse, alias, jangan minta orang yang bertanya kepada kita untuk browseing, tetapi jawablah.
(* Oleh: Fenansio Deyesus, Asal Intansi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang)
(* Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Portalmalang.com)