Catatan Awal
Portalmalang.com- Sebagai mahasiswa yang mempelajari ilmu-ilmu sosial, tentu kita tidak asing dengan ungkapan Aristoteles ini; “Manusia adalah mahkluk sosial.” Ketika mendengar atau membaca kalimat ini, biasanya pikiran kita akan langsung membayangkan masyarakat. Di dalam masyarakat, kita dengan muda dapat melihat, bagaimana manusia itu tidak dapat hidup sendiri, manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk dapat hidup. Melihat sifat manusia yang saling ketergantungan antar sesamanya seperti itu, Aristoteles juga pernah berkata bahwa, hanyalah para Dewa atau Binatang sajalah yang dapat hidup sendiri, maka jika ada orang yang dapat hidup sendiri dan tidak mau membaur dengan sesamanya, dua kemungkinan itulah yang dapat distigmakan terhadapnya. Karena sifat saling ketergantungan itu, manusia, selalu dalam membangun hubungan, mengharapkan relasinya dengan sesamanya adalah relasi yang harmonis.
Untuk menunjang kebutuhan dasarnya sebagai mahkluk sosial itu, maka manusia membutuhkan sebuah sistem, yang kita kenal dengan nama komunikasi. Dalam bukunya, Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya, Alo Liliweri mengataka bahawa komunikasi dan kebudayaan itu tidak dapat dipisahkan, sambil mengutip Edward T. Hall yang mengatakan bahwa, komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita hampir tidak bisa membedakan antara komunikasi dan bahasa. Bahasa, yang tidak bisa lepas dari diri manusia tentulah dengan sendirinya teridentikkan dengan pengertian komunikasi, padahal, jika melihat pendapat Alo Liliweri yang mengutip Edward T. Hall di atas, maka diketahuilah bahwa bahasa sebenarnya hanayalah salah satu, katakanlah unsur, di dalam komunikasi.
Pernyataan Alo Liliweri itu menjadi benar jika kita membaca buku, Pengantar Ilmu Antropologi, tulisan Profesor Koentjaraningrat, yang menunjukan bahwa, manusia, seiring perkembangan otak dan beberapa organnya, seperti tengorokan, rongga mulut, lidah dan bibir yang berevolusi dengan sedemikian rupa, sehingga dapat membuat variasi suara, semakin lama semakin banyak dan kompleks, sehingga pada akhirnya manusia bisa berbahasa. Ini menunjukan bahwa, sebelum bahasa itu ada, untuk menunjang kehidupannya, pastilah manusia menggunakan simbol-simbol tertentu yang disepakati bersama arti dan maknanya, yang digunakan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari, hingga nanti ditemukannya bahasa. Dengan demikian, sistem komunikasi tentunya lebih tua dari pada bahasa, karena untuk bisa terus survive, manusia harus berkomunikasi, dan itu lama-kelamaan menjadi budaya, yang lalu terus mengembangkan sistem komunikasi. Hubungan timbal balik itu menyebabkan kita menjadi tidak bisa melihat atau menjarakan antara komunikasi dan budaya, sehingga membuat Edward T. Hall mengatakan bahwa komuniksi adalah kebudayaan, dan kebudayaan adalah komunikasi.
Dengan sistem komunikasi yang lahir hampir bersamaan dengan keberadaanya di muka bumi, menjadikan manusia sebagai mahkluk yang bisa untuk tetap bertahan dari kejamnya evolusi alam tempat ia hidup itu. Sistem komunikasi dalam hal ini, menjadi instrumen untuk manusia dapat tetap bereksisten. Adat, Agama, Filsafat, Politik, Ekonomi, Hukum, Medis dan lain sebagainya, ada karena manusia berkomunikasi. Jika ditanya, kenapa manusia berkomunikasi, maka jawabannya adalah selain kembali kepada pendapat Aristoteles yang sudah kita tunjukan di atas, juga karena, dengan berkomunikasi, manusia dapat mengorganisir kaumnya dengan menciptakan mitos-mitos seperti yang sudah kita tunjukan di atas, seperti sistem politik, yang akhirnya melahirkan negara. Mitos itu kemudian membuat dirinya (manusia) tetap survive di muka bumi ini.
Dengan demikian, maka relasi yang terjalin di antara manusia itu, harus diandaikan, adalah relasi yang saling memutualisme, relasi yang baik di antara individu-individu manusia, bukan sebuah relasi yang saling menegasikan terhadap satu sama lain atau relasi yang konfliktual. Hal itu tampak pada contoh kehidupan kita sehari-hari, ketika kita hendak melakukan relasi dengan sesama kita, maka biasanya, yang kita harapkan dan bayangkan adalah sebuah relasi yang mutualisme dan baik, bukan relasi yang konfliktif. Sebab, tampaknya tidaklah mungkin rasa-rasanya, bila sistem komunikasi itu melahirkan relasi yang konfliktual jika melihat hasil dari komunikasi itu adalah Adat, Agama, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan lain sebagainya yang itu harusnya terjadi di dalam sebuah relasi yang saling menguntungkan di antara personal-personal manusia bukan sebaliknya.
Dengan komunikasi, maka biasanya dengan sendirinya kita akan membayangkan bahwa relasi yang terbangun adalah relasi yang harmonis. Jika pun ada konflik di dalam relasi yang terbangun dari komunikasi itu, maka akan terurai menjadi hubungan yang harmonis, karena di dalam komunikasi, arah gerak relasi selalu menuju kearah yang harmonis. Maka dapat dikatakan bahwa komunikasi sama dengan relasi yang baik antar sesama individu. Akan tetapi, berbeda dengan pendapat yang telah dikemukakan itu, Jean Paul Sartre (1905-1980), seorang filusuf eksistensialisme Paranci, mempunyai pandangan yang berbeda terkait dengan relasi antar sesama manusia. Menurutnya, relasi antar sesama manusia adalah relasi yang terkutuk, saling menegasi antar sesama. Singkatnya, relasi antar sesama manusia adalah relasi yang konfliktif.
Relasi Antar Manusia Dalam Pemikiran Sartre
Untuk alasan yang telah kita kemukakan di atas, manusia selalu melakukan komunikasi. Komunikasi yang dilakukan bukan saja hanya dengan sesamanya, tetapi juga dengan lingkungan tempat ia tinggal untuk hidup. Komunikasi yang ia lakukan dengan lingkungannya itu, menciptakan sebuah relasi yang akhirnya membuat manusia semakin mengerti bagaimana harusnya ia menyikapi lingkungannya tersebut. Saat berelasi dengan lingkungannya, entah itu benda, binatang dan peristiwa, manusia selalu mereifikasi (membendakan) objek-objek tersebut. Dengan kesadarannya, manusia menguasai benda-benda yang tidak memiliki kesadaran seperti dirinya, dan mempersepsikan benda-benda tersebut sekehendaknya. Begitulah cara manusia menguasai dan menaklukan objek-objek diluar dirinya.
Karena benda-benda itu tidak memiliki kesadaran seperti dirinya, maka relasinya dengan benda-benda tersebut tidak akan melahirkan konflik saling mengobjekan. Akan menjadi konflik jika mahkluk berkesadaran itu saling ber-relasi dengan sesamanya, di sana akan lahir aktifitas saling mengobjekkan terhadap satu sama lain dan ini akan melahirkan relasi yang konfliktif. Untuk menjelaskan filsafat eksistensialismenya, Sartre menyuguhkan lima konsep kunci untuk itu. Lima konsep itu adalah La Mauvaise Foi (ketidak-autentikan), La Reification (pembendaan), L etre et le neant / le pour-soi (lobang atas ada, ketiadaan / ada bagi dirinya sendiri), Le etre / l en-soi (ada dalam dirinya sendiri)dan La Nause (kemuakan).
Dalam pembicaraan tentang relasi manusia dengan alam atau lingkungan tempat ia tinggal, dan relasi dirinya dengan sesamanya, maka konsep yang akan kita geluti adalah L En-soi dan Le Pour-soi. Keberadaan dunia, serta apa-apa yang ada di dalamnya, seperti benda, tumbuhan hewan, peristiwa dan manusia, menurut Sartre bersifat kontigen, yang artinya bisa ada, bisa tidak ada. Dunia dengan segala apa-apa yang ada di dalamnya, menurtu Sartre adalah, apa yang ada seada-adanya, sebuah etre en-soi (ada dalam dirinya sendiri). Sedangkan kesadaran manusia atas dunia adalaha etre pour-soi (ada bagi dirinya sendiri). Seperti benda-benda, yang keberadaannya sebagai sebuah etre en-soi, demikian juga manusia, hanya saja yang membedakan manusia dengan benda-benda adalah, manusia memiliki kesadaran. Kesadaran inilah yang membuat manusia dapat mempertanyaakan dan menegasikan bahwa ia sekedar salah satu dari benda-benda di dunia. Itulah mengapa kesadaran manusia yang bertanya dan menidak disebut sebagai pour-soi (bagi dirinya sendiri).
Seperti yang secara singkat sudah kita singung di atas, relasi manusia dengan objek-objek yang tidak memiliki kesadaran tidaklah akan melahirkan konfliki saling mengobjekkan. Dengan benda-benda itu, manusia dengan bebas memasukan benda-benda itu kedalam pikirannya dan mendefinisikan benda-benda itu sekehendaknya, dan benda-benda itu tidak akan membalas hal itu kepadanya. Dengan begitu, manusia bebas mendeterminasi benda-benda itu. Sekali lagi, begitulah manusia menguasai dan menaklukan benda-benda itu. Dalam kehidupannya di dunia ini, manusia tidak hanya berelasi dengan lingkungannya saja, yang itu tanpa kesadaran, tetapi juga manusia saling berelasi dengan sesamanya. Nahhh….! ketika berelasi dengan sesamanya inilah akan lahir konflik, karena seperti yang kita telah ketahui bersama, kerja mahkluk yang berkesadaran itu, slalu mengobjekan sesuatu yang ada di sekitarnya. Ketika mahkluk yang berkesadaran itu saling berelasi, maka akan muncul konflik saling mengobjekan, mendefinisikan dan saling mendeterminasikan satu sama lain.
Pertemuan dengan orang lain pada asasnya bukanlah memperkaya dunia saya, melainkan merusak atau menggugatnya. Bahwa saya mendekati orang lain menurut Sartre tak dapat lain artinya bahawa saya hendak merebutnya. Saya hendak menginkari keadaan orang lain itu, saya hendak menjadikan dia objek. Dengan cara ini, Sarter memberi tafsir yang demonis pada kata-kata Hegel yang termasyhur bahwa “kesadaran yang satu adalah maut bagi kesadaran yang lain” (Setyo Wibowo, dalam majalah Basis edisi ke-69, 2020: 13).
Jika kesadaran saya selalu mengobjekkan dan mendefinisikan orang lain, maka kesadaran orang lain pun menurut Sartre melakukan hal yang sama kepada saya. Dengan begitu, menurut Sarter, keberadaan orang lain adalah ancaman bagi diri saya, karena orang lain itu selalu ingin menjadikan diri saya sebagai objek bagi kesadarannya. Kesadaran orang lain yang mengobjek diri saya, jelas-jelas sedang merebut kebebasan yang saya miliki. Maka itu, orang lain merupakan bahaya terbesar bagi kebebasan saya. Sebegitu hebatnya bahaya kesadaran orang lain bagi saya, sehingga dalam dramanya yang berjudul Pintu Tertutup, dalam sebuah babak, Sartre mengatakan bahwa “orang lain adalah neraka” (hell is other people).
Tidak hanya samapai di situ, Sartre juga dengan sangat apik menjelaskan teorinya ini melalui analisisnya tentang le regard (pandangan atau tatapan mata). Pandangan mata seseorang memaku saya pada satu titik. Di sanalah saya menjadi tidak berdaya dan menyerah pada tafsiran orang lain terhadap saya.
Saat ditatap orang, aku seperti kehilangan kendali atas diriku sendiri. Kadang orang berbicara tentang tatapan mata yang tajam, yang menembus seolah menelanjangi, hal ini membaut aku menjadi malu, menolak dan membuang muka….., Dalam kasus lain, tatapan mata orang lain bisa membuat aku bangga. Entah malu entah bangga, tatapan mata orang lain membuat aku tergantung pada cara orang lain menilai diri ku (Setyo Wibowo, dalam majalah Basis edisi ke-69, 2020: 13).
Dengan begitu, relasi antarmanusia yang diusung oleh Sartre adalah relasi yang konfliktual. Bagi Sartre relasi antarmanusia itu adalah relasi yang antipatik, bukan relasi yang simpatik. Dengan tatapannya, mahkluk berkesadaran itu dalam berelasi, saling mengobjekan satu sama lain, menegasikan dan menidak terhadap satu sama lain dan berusaha saling memasukan satu dengan yang lain kedalam kawasan tatapannya mengenai apa-apa yang seharusnya bukan kepunyaan dirinya dan lalu menjadikannya sebagai objek belaka bagi kesadarannya. Dengan Sartre, kita ditampakan dengan sebuah realitas bahwa, relasi manusia itu adalah relasi yang ahli-ahli saling membutuhkan, melindungi dan saling menjaga, relasi manusia justru malahan sebuah relasi yang saling memangsa satu sama lain, dengan mengingat bahwa kerja mahkluk berkesadaran itu adalah memang demikian. Maka pertanyaan yang muncul dalam tulisan ini untuk dijawab, jika melihat relasi antar personal adalah konfliktif seperti yang telah disuguhkan di atas, adalah; Komunikasi seperti apakah yang bisa kita bayangkan dari pemikiran Sartre jika berkaca pada pemikirannya tentang relasi antar sesama manusia yang konfliktif itu?
Membayangkan Komunikasi Dari Relasi Yang Konfliktif J. P Sartre
Dalam berelasi dengan orang baru dalam kehidupan sehari-hari, bukanlah suatu yang aneh bagi kita, jika kita saling bertanya asal daerah dan suku, setelah saling bertanya nama. Bahakan tidak jarang pula ada juga yang bertanya soal agama apa yang kita yakini atau anut. Apa motifasi dari pertanyaan-pertanyaan introduktif semacam itu? Ya tentu saja karena kita ingin mengetahui siapa pribadi yang sedang kita hadapi itu. Dengan mengetahui nama, asal daerah atau suku dan agama, kita akhirnya menjadi tahu bagaimana harus bersikap di depan pribadi tersebut dan begitu pun sebaliknya. Hal itu menyiratkan sesuatu, bahwa sebelum berelasi dengan sesama kita, kita sudah terlebih dahulu memiliki di dalam kepala kita ide tentang sesama kita.
Bila namanya adalah Yanti, maka dia pasti perempuan, jika dia perempuan, maka kita akan menghadapinya sebagaimana kita menghadapi perempuan seperti pada umumnya. Lalu ternyata dia berasal dari suku Dayak, maka kita juga akan menghadapi Yanti dengan cara sebagaimana berelasi dengan orang Dayak. Lalu kemudian ternyata Yanti adalah seseorang Katolik, maka kita juga akan menghadapi yanti dan bersikap di depannya sebagaimana kita menghadapi seseorang Katolik. Itu menunjukan bahwa sebelum berelasi dengan Yanti, di dalam kepala kita sudah ada ide tentang Keperempuanan, ide tentang Kedayakan dan ide tentang Kekatolikan. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa bahakan sebelum berkomunikasi dan berelasi dengan Yanti pun, ternyata kita sudah mengobjekan Yanti.
Padahal sebagai manusia, yang itu menurut Sartre adalah mahkluk yang bebas karena kesadarannya, bisa saja Yanti sama sekali tidak identik dengan ide-ide yang ada di kepala kita. Misalnya, ternyata Yanti meskipun berjenis kelamin perempuan, tetapi dia sangat maskulin dan tomboy, walapun dia seseorang Dayak, tetapi ternyta karena pergaulannya di dalam masyarakat yang majemuk membuat Yanti tampak tidak seperti orang Dayak pada umumnya, dan ternyata juga sebagai seseorang Katolik ternyata Yanti tidak terlalu religius. Dengan ide-ide yang kita bawa pada awal relasi kita itu, tentu sangat membatasi kebebasan sesama kita. Tetapi mau bagaimana lagi, sebab itulah cara yang wajar, rasa-rasanya, agar kita mendapatkan kepastian untuk bertindak di depa orang lain yang masih baru dalam kehidupan kita itu.
Begitulah kesadaran kita menghadapi orang lain, yaitu dengan cara mengidentikan orang tersebut dengan ide-ide yang ada di dalam kepala kita. Dengan begitu orang tersebut telah menjadi objek (benda saja) di hadapan kita. Akan tetapi sebagaimana kita yang memiliki kesadaran, orang lain itu pun akan melakukan hal yang sama kepada kita. Juga mengobjekan diri kita sebagaimana kita mengobjekan dirinya. Dengan demikian, relasi yang konfliktif pun terjadi karena aktifitas kesadaran yang saling membendakan tersebut. Singkatnya, sebelum berkomunikasi dan berelasi dengan orang lain pun, kita telah terlebih dahulu memiliki esensi (bentuk ideal) tentang manusia untuk kita pasangkan kepada eksisistensi (kemenjadian)-nya. Dengan begitu kita telah menutup jalan bagi kemungkinan-kemungkinan kemenjadiannya. Itu jelas telah menghalangi kebebasan orang yang berkomunikasi dan berelasi dengan kita tersebut.

Selain telah memiliki ide-ide di dalam pikiran sebelum berkomunikasi dan berelasi dengan sesama kita untuk kita pasangkan kepada sesama kita saat berelasi dengannya, saat kita telah lama berkomunikasi dan berelasi dengan sesama kita, ketika melihat pola-pola tindakan sesama kita tersebut, kita pun mulai mengidentikan sesama atau teman kita itu dengan pola tersebut. Untuk dapat melihat apa yang coba saya maksudkan, ijinkan saya memberikan sebuah contoh kasus; Di warug kopi (warkop) tempat saya biasa nongkrog untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, ketika datang kesana saya selalu memesan espreso shot. Ketika pertama kali saya datang kesana, dan memesan espreso shot, pelayan warung kopi itu bertanya kepada saya, apakah sudah pernah memesan sebelumnya (maksudnya, apakah saya tahu kalau espreso shot itu pahit rasanya).
Tampaknya di dalam pikiran pelayan itu, karena espreso shot itu pahit rasanya, jadi akan sulit dan jarang sekali di sukai oleh pelanggan, dan jika ada pelanggan yang ternyata memesan espreso shot, bisa jadi pelanggan itu mungkin saja tidak tahu kalau espreso shot itu pahit rasanya, makanya pelayan itu merasa memiliki kewajiban untuk harus bersusah-susah menjelaskan kepada pelanggan itu. Singkat cerita, Ketika saya sudah sering datang ke sana dan selalu memesan espreso shot, jika saya datang ke warung kopi tersebut, maka pelayan warung kopi itu akan langsung menodong saya dengan pertanyaan yakin, yang seolah-olah dia sendiri sudah tahu bahwa saya akan memesan minuman yang sama, “pasti espreso shot-kan”.
Perlakuan pelayan warung kopi di atas, dalam beberapa kesempatan, saya rasa sangat mengekang diri saya. Misalnya saja ketika suatu hari saya datang ke sana dan telah berencana untuk tidak memesan espreso shot, tetapi karena pertanyaan, “pasti espreso shot-kan” dari pelayan itu, membuat saya, demi menjaga image saya sebagai seseorang pencinta kopi yang keren, maka saya terpaksa bersikap tidak autentik (membohongi diri sendiri, La Mauvaise Foi) kepada diri saya sendiri, lalu mengiyai tawaran si-pelayan tersebut. Dari contoh kasus di atas, dapat kita lihat bahwa, komunikasi yang terjadi antara saya dengan si-pelayan warung kopi itu, telah melahirkan sebuah relasi seperti yang dimaksudkan oleh Sartre, relasi yang konfliktif.
Yaitu dalam kasus ini saya dengan pola-pola yang saya ciptakan di depan kesadaran si-pelayan itu, telah membuat si-pelayan itu mengobjekan saya sebagai seseorang yang sangat menyukai espreso shot. Melihat pola-pola tindakan pada diri saya, di dalam pikiran si-pelayan, tercetak sebuah ide (esensi) “tentang seseorang yang suka dengan espreso shot,” dan ide itu selalu ia simpan di dalam pikirannya, begitu saya (eksistensi yang selalu berubah-ubah ini) muncul di hadapannya, ketika saya datang ke warkop itu, maka ide itu langsung cepat-cepat, tanpa melihat raut waja saya yang mungkin sedang menunjukan bahwa saya tidak sedang ingin menkmati espreso shot, langsung ia pasangkan kepada diri saya tanpa menimbang-nimbang terlebih dahulu tawarannya itu.
Maka dalam kasus ini, si-pelayan secara tidak langsung telah menyamakan diri saya dengan sebuah kursi, yang antara eksistensi dan esensinya menyatu. Di depan si pelayan itu, jika adanya (eksistensi) kursi memiliki bersamanya esensinya yang melekat padanya sebagai benda yang digunakan untuk duduk, maka adanya saya (eksistensi) memiliki bersama saya sebua esensi yang melekat pada diri saya, yaitu sebagai orang yang menyukai espreso shot. Tentunya saya dengan kesadaran saya pun melakukan hal yang sama kepadanya, misalnya saya memiliki di dalam kepala saya sebuah ide bahwa ada seseorang pelayan yang crewet dan sok tahu, dan setiap bertemu dengan si-pelayan itu, saya akan langsung memasang ide itu kepada dirinya. Seperti dirinya yang mengobjekan saya, saya pun melakukan hal yang sama kepadanya, juga mengobjekan dirinya.

Catatan Akhir
Dalam tulisan ini, sejauh saya membayangkan pola komunikasi seperti apa yang tercipta dari relasi konfliktif yang diusung J. P Sartre, saya mendapati dua pola seperti yang sudah coba saya tunjukan di atas, yaitu 1. Kita dengan kesadaran kita yang selalu mengingini sesuatu yang pasti, bahakan sebelum berkomunikasi dan berelasi dengan sesama kita, sudah mengobjekan sesama kita, dengan ide-ide yang ada di dalam kepala kita, tentang seseorang manusia yang ideal sesuai dengan kodratnya, misalnya saja ide ideal tentang seksis (kelaki-lakian dan keperempuanan). 2. Setelah komunikasi telah berlangsung, melihat pola-pola yang kita dan sesama kita ciptakan di depan masing-masing kesadaran satu sama lain, lalu mulailah kita dan sesama kita saling mengobjekan, dengan selalu saling mengidentikan diri dengan pola yang tercipta di depan kesadaran masing-masing.
Kedua pola itu menampakan kepada kita bahwa, gerak komunikasi ternyata membawa kita kepada sebuah relasi dengan sesama kita kedalam relasi yang saling mengobjektifkan. Singkatnya, relasi kita dengan sesama kita selau mengkerucut ke arah saling membendakan (mengobjekan) terhadap satu sama lain. Kerja kesadaran yang saling membendakan tersebut jelas saja merampas kebebasan kesadaran yang lain yang di bendakan tersebut. Maka itu telah membuat kita mengerti mengapa Hegel mengatakan “Kesadaran yang satu merupakan maut bagi yang kesadaran yang lain.” Dari Sartre, kita menjadi tahu bahwa komunikasi yang dilakukan oleh manusia ternyata tidak selalu melahirkan relasi yang harmonis, tetapi ada juga relasi yang konfliktif.
Angapan fanatis terhadap asumsi yang mengatakan bahwa komuniksi itu akan selalu melahirkan relasi yang harmonis, membuat kita akan galau dan sedih bila berhadapan dengan fakta bahwa ternyata tidak selalu demikian adanya. Maka dengan memahami pemikiran Sartre tentang relasi manusia yang konfliktual dan antipatik itu, membuat kita bisa lebih berbesar hati dan lapang dada untuk menerima fakta-fakta yang tidak selalu sesuai dengan keinginan kita itu, yaitu bahwa komunikasi itu harus selalu melahirkan relasi yang harmonis.
(* Oleh: Fenansio Deyesus, Asal Intansi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang)
(* Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Portalmalang.com)