Sebuah Rabu yang Berabu Ketika Kau dan Aku Di Kursi Itu

0
663
Sebuah Rabu yang Berabu Ketika Kau dan Aku Di Kursi Itu

Portalmalang.com-Terbuat dari apakah kenangan itu ? Tanya Seno Gumirah Ajidarma dalam Senja dan Cinta yang Berdarah. Kamu tahu ? Aku tak-tahu, sama seperti Seno. Sama sepeti Seno pula, yang terheran-heran dalam ketidak-tahuannya terhadap pertanyaan itu, yang mengalami keterulangan berkali-kali dalam mengalami dihantui oleh kenangan akan suatu peristiwa yang pernah dialaminya, aku pun demikian.

Aku dihantui oleh kenangan akan peristiwa yang pernah kita lalui di atas trotoar itu, duduk di atas kursi yang ada di sana, berhadapan dengan katedral yang megah dengan jalan yang selalu ramai oleh kendaraan yang tak-letih-letihnya berlalu lalang di antara kita dan gedung katedral itu. Waktu itu hari rabu, yang sudah menjadi senja dengan angin yang berabu. Kenangan itu, ia hangat seperti matahari pagi dan tenang seperti senja. Hamm…., terbuat dari apakah kenangan itu.

***

Kenangan akan rabu yang berabu ketika kau dan aku di kursi itu, selalu datang, seperti senja.

Waktu itu, sambil berjalan kearah kursi yang berada di atas trotoar di sebrang jalan depan katedral, sepulang dari misa yang tak jadi kita ikuti. Kau mengomeliku.

“Ahhh kamu sihh ngeyel, tetap mau datang, kan sudah kubilang kalau mau misa harus daftar online dulu.” Aku tertawa saja. Diam-diam aku menjadi senang. Heran, harusnya aku jengkel dan marah karena tidak jadi misa, bukannya malah merasa bahagia seperti sekarang ini.

Angin sore bertiup kencang, membawa suara bising yang entah dari mana asalnya, seakan tak mau kalah dengan bisingnya hirukpikuk kota ini. Duduk di kursi di atas trotoar, menghadap kearah gereja, kulihat wajah mu masih menunjukan kekesalan yang takterlalu.

Aku yakin kalau kau juga merasa senang, sama seperti aku yang senag karena akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berdua saja dengan mu. Angin yang datang dengan kecang sedari tadi itu membelai rambut mu dengan kasar, aku melihat kau tergangu dengan tingkah nakal angin itu. Wajah mu, ahhh aku melihat senja ada di sana. Kau berusaha membenarkan rambut mu yang datang menutup wajah mu. Senja selalu datang dengan terlambat dan pergi dengan tergesa-gesa, tapi di wajah mu rasanya ia tampak abadi.

Setelah duduk di kursi itu agak lama, sebentar kebisuan datang menyapa kita yang hanya berdua saja itu. Karena aku takut kalau-kalau ia mungkin  akan berlama-lama dengan kita.

“Gimana dengan bacaan mu, buku apa yang kau baca sekarang?” Ahhh bersyukurlah, kau mengusirnya. Aku menoleh kearah mu yang sedang melihat kewajahku, mata kita bertemu, aku segera menoleh ke arah gereja yang megah di depan kita itu.

“Identitas, punyanya Milan Kundera.” Jawabku dengan bersemangat sambil kembali menoleh kearah mu.

“Kamu?” Aku balik bertanya. Tangan mu membenarkan rambut mu yang datang menutup wajah mu.

“Khalil Gibran, Pasir dan Buih.” Jawab mu.  

“Waooo! Khalil Gibran.” Dengan terpukau aku segera menimpali jawaban mu.

Berteman dengan orang yang memiliki kesamaan dengan kita, memang menyenangkan sekali. Kita dapat mempercakapkan hal-hal yang kita sukai itu dengan lebih komunikatif. Komunikatif ? Ya komunikatif ! Bukankah komunikasi yang efektif  adalah apabila ada kesamaan makna yang dipertukarkan antar orang-orang yang melakukannya.

Kesamaan kita adalah sama-sama menyukai buku, itulah yang membuat komunikasi kita menjadi komunikasi yang komunikatif. Komunikasi yang komunikatif dapat memperpajang relasi orang-orang yang melibatkan diri dalam komunikasi itu. Hamm semoga relasi kita bisa berkepanjangan, sepanjang-panjangnya karena kesukaan kita pada buku.

“Kesan apa yang kau dapat dari bacaan mu itu, sejauh ini?” Tanyamu sambil melihat kearah ku lagi. Kulihat waja mu seperti tak sabar menanti jawaban ku. Aku berpikir sebentar sambil melihat kedepan, pada kendaraan yang takjemuh-jemunya berlalu lalang di depan kita, di tengah jalan itu.

“Ahhhm, oke baiklah, biarkan saya memulainya dengan mengutip isi buku itu, ini merupakan bagian yang paling mengesankan untuk saya. Pada halaman seratus empat puluh delapan,  dikatakan begini.

Pahami ini! Makna ungkapan saling mencintai tertetapkan dengan jelas oleh kata berkembang biak. Ungkapan saling mencintai itu  sama sekali tidak berarti kasih sayang, cinta yang lembut, mesra, dan spritual atau mengelora tak kunjung padam, itu hanya berarti bercumbu! atau kawin ! selain dari itu adalah omong kosong.

Bukankah itu sangat keren! kebanyakan dari kita memahami cinta dengan terlalu bermuluk-muluk. Bahwa cinta itu memiliki banyak arti, dan bahakan malah takterdefinisikan. Tapi lihatlah, di dalam buku ini, Milan Kundera mengatakan bahwa cinta itu ternyata sesederhana itu, cinta adalah kawin atau bercumbu, untuk mempertahankan eksistensi diri manusia. Itulah arti cinta yang sebenar-benarnya. Hanya itu. Yang lain adalah omong kosong. Gimana? apa pendapat mu tentang itu, apakah kamu setuju dengan Milan Kundera? atau kau menolaknya, haaa?” Aku terkekeh.

“Oke baiklah, karena tadi kau memulai dengan mengutip, maka ijinkan aku pula untuk mengutip bacaan ku juga.” Dengan penuh percaya diri dan sedikit bercanda kau berkata seperti itu.

“Aku akan memberi sebuah pandangan yang berbeda tentang cinta. Seperti inilah yang dikatakan oleh Khalil Gibran tentang cinta, pendek saja, ini merupakan potongan syairnya. Bagini. “Hanya cinta dan kematianlah yang dapat mengubah segalanya.” Hanya cinta dan kematian, huuu, ingat itu! Memang benar seperti yang kau kataka tadi, bahawa cinta itu ya kawin atau bercumbu itu, yang adalah usaha manusia untuk membuat dirinya agar tetap survive. Tapi apakah ya sekering itu, bukankah manusia dikatakan sebagai manusia karena ia memiliki bukan saja pikiran atau akal, tetapi juga karena ia memiliki perasaan?” Melihat kebingungan yang datang menyergap aku, kau pun tertawa. Dan. Kau melanjutkan.

“Coba lihat, Kahlil Gibran bahakan menyandingkan cinta dengan kematian. Kita semua tahu bahwa kematian akan mengatarkan kita kepada tempat dari mana kita berasal, yaitu dari ketiadaan menuju ke-ketiadaan. Itu jelas sekali, akan mengubah hidup kita bukan.  Sedangkan cinta! bukan suatu hal yang rahasia lagi bahwa cinta dapat membuat seseorang mengubah jalan hidupnya, haluan hidupnya. Bahakan cinta pun dapat memporak-porandakan prinsip-prinsip kehidupan yang dipegang kuat oleh manusia dan menggantikan dengan prinsip yang baru. Tapi  yang penting adalah, bahwa cinta dapat melembutkan hati manusia untuk dapat lembuat kepada sesamanya. Dan jelas bahwa cinta tidak hanya tentang kawin atau bercumbu kalau sudah seperti itu, tetapi juga  di sana ada pelibatan hati. Cinta seperti yang kau tawarkan itu akan melahirkan manusia-manusia yang permatur, karena ia tumbuh dalam iklim yang kering tanpa rasa kemanusiaan. Dengan mengatakan seperti itu, aku mengira bahwa Khalil Gibran mau menyampaikan bahwa perasaan yang ajaib yang menimbulkan rasa sayang, kemesraan dan kelembutan yang kemudian kita sebut sebagai cinta itu, adalah bukan sesuatu yang remeh. Cinta bukan saja tentang kawin atau bercumbu untuk berkembang biak, tetapi ia lebih dari itu. Bahakan cinta dapat mengubah kehidupan manusia. Itulah cinta dengan kekuatannya!” Kau melihat kearah ku dengan raut wajah yang meyakinkan. Aku yakin itu kau tunjukan untuk meyakinkan Aku.

“Begitulah yang aku dapat dari bacaan ku itu.” kata mu lagi menyusul, sambil tersenyum kearah ku.

Hampir satu jam kita duduk dikursi itu, mendiskusian dan saling membagikan bacaan-bacaan kita masing-masing. Aku sangat menikmati percakapan itu, sampai aku kawatir kalau-kalu  momen itu akan segera berakhir.

Aku kagum pada mu, tidak hanya cantik saja kau rupanya, tetapi juga padai kamu merangkai kalimat dalam menjelaskan tentang buku bacaan mu itu. Waktu itu, betul-betul aku tak ingin masa itu segera berlalu. Keinginan ku untuk tetap di kursi itu bersama mu sangatlah besar sebesar-besarnya. Tapi sayang bermiliaran sayang, ketika angkot sialan itu datang menampakan diri di depan kita, kau ajak aku pulang. Rasanya ingin sekali aku menyumpahi situkang angkot itu sekaligus dengan angkot-angkotnya, tapi ya sudahlah.

“Ayo!” Aku mengiakan tawaran mu itu.

***

Sebuah rabu yang berabu ketika kau dan aku dikursi itu, merupakan sekeping waktu yang selalu akan aku kantongi dalam ingatan ku kemana pun aku pergi.

*) Oleh: Fenansio Deyesus. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trubhuwana Tunggadewi Malang

*) Tulisan Cerpen ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi portalmalang.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here